Empat pulau di perbatasan Aceh dan Sumatera Utara, yakni Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Ketek, dan Pulau Mangkir Gadang, kini resmi menjadi bagian dari Provinsi Sumatera Utara. Keputusan ini memicu kontroversi dan menimbulkan pertanyaan besar di kalangan masyarakat Aceh. Bagaimana proses perpindahan empat pulau tersebut bisa terjadi?
Sengketa batas wilayah ini telah berlangsung lebih dari satu dekade. Perbedaan hasil verifikasi kepemilikan pulau antara tim Pemerintah Provinsi Aceh dan Sumatera Utara menjadi akar permasalahan. Klaim Sumatera Utara atas 213 pulau, termasuk keempat pulau yang disengketakan, telah disampaikan secara resmi sejak tahun 2009.
Sengketa Pulau: Aceh vs Sumatera Utara
Pemerintah Sumatera Utara mengklaim kepemilikan atas 213 pulau, termasuk empat pulau yang kini menjadi sengketa. Klaim ini telah disampaikan secara resmi melalui surat Gubernur Sumut pada tahun 2009. Aceh tetap bersikukuh bahwa keempat pulau tersebut merupakan bagian tak terpisahkan dari wilayahnya.
Aceh mendukung klaimnya dengan bukti-bukti historis dan fakta bahwa keempat pulau tersebut selama ini telah menerima pelayanan publik dari Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil. Perbedaan interpretasi data dan bukti menjadi inti dari perselisihan ini.
Respons dari Berbagai Pihak
Polemik ini mendapat perhatian luas dari berbagai pihak. Anggota DPR RI Dapil Aceh I, Muslim Ayub, mengatakan keputusan ini akan membuka luka lama bagi masyarakat Aceh. Ia menilai ada kesepakatan dan dokumentasi yang menguatkan kepemilikan Aceh atas keempat pulau tersebut.
Muslim Ayub mengingatkan pentingnya menjaga kedamaian dan ketentraman Aceh yang telah terbangun. Ia mempertanyakan tanggung jawab pemerintah pusat jika keputusan ini memicu konflik baru.
Sementara itu, Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi PKB, Muhammad Khozin, meminta pemerintah pusat menyelesaikan sengketa ini dengan elegan dan berlandaskan aspek yuridis dan sosiologis. Ia menekankan pentingnya pendekatan yang harmonis.
Anggota DPR RI Dapil Aceh, Nasir Djamil, menambahkan bahwa dokumentasi kepemilikan keempat pulau tersebut masih diperdebatkan. Ia tetap yakin keempat pulau itu milik Aceh dan mendesak pemerintah daerah Aceh untuk mengambil langkah strategis.
Anggota Komisi VI DPR RI, Rieke Diah Pitaloka, menyoroti potensi kerusakan lingkungan di keempat pulau kecil tersebut akibat eksploitasi tambang. Ia mengingatkan larangan penambangan di pulau kecil berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution, mengusulkan agar pembahasan sengketa ini dialihkan ke Kementerian Dalam Negeri. Ia menilai pembahasan di tingkat daerah tidak akan menghasilkan solusi yang efektif.
Gubernur Aceh, Muzakir Manaf, menegaskan kepemilikan Aceh atas keempat pulau tersebut dengan bukti-bukti kuat dari berbagai aspek, termasuk sejarah dan geografis.
Kajian Ulang Kemendagri
Menanggapi polemik ini, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) akan melakukan kajian ulang. Kajian ulang ini akan dipimpin langsung oleh Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, pada tanggal 17 Juni 2025.
Wakil Menteri Dalam Negeri, Bima Arya, menyatakan bahwa Kemendagri akan menelaah secara menyeluruh dan hati-hati, mempertimbangkan aspek geografis, historis, dan kultural. Penyelesaian yang adil dan diterima semua pihak menjadi prioritas.
Proses kajian ulang ini diharapkan dapat memberikan solusi yang mengakomodasi kepentingan semua pihak, menghindari eskalasi konflik dan menjaga harmoni antar-provinsi. Aspek historis dan kultural masyarakat setempat juga akan menjadi pertimbangan penting dalam pengambilan keputusan.
Kesimpulannya, sengketa empat pulau antara Aceh dan Sumatera Utara merupakan masalah kompleks yang membutuhkan penyelesaian yang bijak dan adil. Peran pemerintah pusat dalam hal ini sangat krusial untuk mencegah konflik lebih lanjut dan mencari solusi yang diterima semua pihak, dengan memperhatikan aspek hukum, sosial, dan historis.