Maskapai berbiaya rendah Jetstar Asia, anak perusahaan Qantas Australia yang berbasis di Singapura, akan menghentikan seluruh operasinya pada 31 Juli 2025. Pengumuman resmi ini disampaikan pada Rabu, 11 Juni 2025, menyusul tantangan operasional yang signifikan.
Keputusan penutupan ini disebabkan oleh peningkatan biaya operasional yang signifikan, termasuk biaya pemasok, biaya bandara yang lebih tinggi, serta persaingan yang ketat di industri penerbangan berbiaya rendah. Lebih dari 500 karyawan akan terdampak dan akan menerima pesangon serta bantuan pencarian kerja.
Penutupan Jetstar Asia dan Dampaknya pada Pelanggan
Jetstar Asia akan berhenti beroperasi setelah tujuh minggu ke depan, tepatnya pada 31 Juli 2025. Qantas Group berjanji akan memberikan pengembalian dana penuh kepada semua penumpang yang terdampak pembatalan penerbangan.
Qantas juga berupaya untuk memindahkan penumpang yang terdampak ke maskapai lain jika memungkinkan. Sebuah situs web khusus telah dibuat untuk memberikan informasi terbaru dan bantuan kepada para pelanggan.
Namun, beberapa penumpang mengungkapkan kesulitan dalam mengakses pengembalian dana melalui situs web maskapai, dan juga kesulitan mendapatkan bantuan melalui pusat kontak. Hal ini menimbulkan kekhawatiran dan ketidakpuasan di kalangan penumpang.
Dampak Penutupan Terhadap Karyawan dan Operasi Qantas
Penutupan Jetstar Asia akan berdampak pada lebih dari 500 karyawan. Qantas berkomitmen untuk memberikan tunjangan pesangon dan dukungan dalam mencari pekerjaan baru kepada karyawan yang terkena PHK.
Qantas akan berupaya membantu karyawan menemukan peluang kerja di dalam grup perusahaan atau di maskapai lain di kawasan tersebut. Langkah ini diharapkan dapat meminimalisir dampak negatif terhadap kehidupan karyawan.
Penutupan ini juga akan menghentikan operasi penerbangan di 16 rute yang dilayani Jetstar Asia. Sebanyak 13 pesawat Airbus A320 milik Jetstar Asia akan dipindahkan ke Australia dan Selandia Baru secara bertahap.
Masa Depan Maskapai Berbiaya Rendah (LCC) dan Inovasi Terbaru
CEO Jetstar Asia, John Simeone, menyatakan bahwa kondisi pasar yang menantang menyebabkan ketidakmampuan maskapai untuk terus memberikan tarif penerbangan rendah yang menjadi ciri khas mereka. Persaingan yang ketat dan biaya operasional yang tinggi menjadi faktor utama.
Sementara itu, di Eropa, muncul tren baru dalam industri LCC dengan pengembangan kursi pesawat berdiri. Meskipun terdengar tidak nyaman, desain kursi berdiri ini diklaim mampu mengurangi biaya operasional dan meningkatkan kapasitas penumpang.
Desain kursi berdiri, yang disebut Skyrider 2.0, telah melewati uji keamanan dan dapat dipasang pada jenis pesawat tertentu. Namun, hingga saat ini belum ada LCC yang secara resmi mengumumkan akan menggunakannya.
Selain inovasi kursi, perubahan signifikan juga terlihat dalam desain ruang bagasi kabin pada pesawat LCC. Desain baru mampu menampung lebih banyak barang bawaan penumpang dengan sistem penyimpanan vertikal.
Meskipun penutupan Jetstar Asia menjadi pukulan bagi industri penerbangan, hal ini juga menunjukkan adanya kebutuhan adaptasi dan inovasi yang cepat untuk bertahan di tengah persaingan yang ketat dan kondisi ekonomi yang dinamis.
Perkembangan ini akan menarik untuk terus dipantau, terutama bagaimana maskapai penerbangan lainnya akan beradaptasi dengan tantangan dan inovasi terbaru di industri penerbangan berbiaya rendah ini. Apakah mereka akan mengikuti jejak efisiensi dengan kursi berdiri atau inovasi bagasi, atau menemukan solusi lain yang lebih inovatif lagi? Kita tunggu saja perkembangannya.