Polemik 4 Pulau Aceh-Sumut: JK Ungkap UU Bung Karno & Helsinki

Polemik 4 Pulau Aceh-Sumut: JK Ungkap UU Bung Karno & Helsinki
Sumber: Liputan6.com

Polemik kepemilikan empat pulau di perbatasan Aceh dan Sumatera Utara (Sumut) kembali mencuat. Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek, yang sebelumnya masuk wilayah Aceh, kini menjadi bagian dari Sumut. Perselisihan ini telah berlangsung lama, bahkan sejak tahun 2008.

Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) turut angkat bicara mengenai sengketa ini. Beliau memberikan penjelasan berdasarkan hukum dan sejarah untuk meluruskan permasalahan tersebut.

Dasar Hukum Kepemilikan Pulau-Pulau yang Disengketakan

JK menjelaskan bahwa Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956, yang disahkan pada era Presiden Sukarno, menjadi landasan hukum penetapan Aceh sebagai provinsi tersendiri. Undang-undang ini diundangkan setelah adanya pemberontakan DI/TII di Aceh.

Sebelum UU tersebut, Aceh merupakan bagian dari Sumatera Utara. Pemberontakan tersebut kemudian menjadi latar belakang penetapan Aceh sebagai provinsi otonom.

Lebih lanjut, JK menekankan bahwa perjanjian Helsinki tahun 2005 antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) juga merujuk pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956. Pasal 114, kemungkinan Bab 1 ayat 1 poin 4, menetapkan batas wilayah Aceh merujuk pada batas wilayah per 1 Juli 1956.

Dengan demikian, batas wilayah Aceh yang berlaku saat ini mengacu pada UU tersebut dan perjanjian Helsinki.

Aspek Historis Kepemilikan Pulau-Pulau oleh Aceh

JK menegaskan, secara historis empat pulau yang disengketakan itu memang masuk wilayah Aceh. Meskipun secara geografis lebih dekat ke Sumut, hal itu tidak serta merta membatalkan klaim Aceh.

Beliau memberikan contoh analogi sebuah pulau di Sulawesi Selatan yang secara geografis dekat dengan Nusa Tenggara Timur, namun tetap menjadi bagian dari Sulawesi Selatan. Kedekatan geografis bukan satu-satunya penentu.

Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek, secara historis tercatat sebagai wilayah Aceh Singkil. Ini merupakan bukti sejarah yang memperkuat klaim Aceh.

Pertemuan JK dengan Mendagri dan Penyelesaian Polemik

JK telah berdiskusi dengan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian terkait permasalahan ini. Dalam pertemuan tersebut, JK menjelaskan pentingnya tetap berpegang pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956.

Keputusan Menteri (Kepmen) tidak dapat menggantikan atau menganulir sebuah undang-undang. Oleh karena itu, pengubahan status kepemilikan pulau-pulau tersebut harus dilakukan melalui jalur yang sesuai dengan hukum yang berlaku.

Meskipun Mendagri Tito memiliki maksud baik demi efisiensi pemerintahan, JK menekankan bahwa secara historis dan hukum, pulau-pulau tersebut memang bagian dari Aceh. Walaupun undang-undang tersebut tidak secara spesifik menyebutkan nama pulau-pulau tersebut.

Kesimpulannya, permasalahan kepemilikan empat pulau tersebut membutuhkan penyelesaian yang adil dan berlandaskan hukum. Baik aspek historis maupun hukum perlu dipertimbangkan secara saksama. Semoga polemik ini segera terselesaikan dengan cara yang bijak dan sesuai koridor hukum yang berlaku.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *