DPR Desak Cabut SP3 Kasus Korupsi Sirkus OCI: Ada Apa?

DPR Desak Cabut SP3 Kasus Korupsi Sirkus OCI: Ada Apa?
Sumber: Liputan6.com

Anggota Komisi III DPR, Gilang Dhielafararez, mendesak kepolisian untuk mencabut Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dalam kasus dugaan pelanggaran hukum yang menimpa mantan pemain sirkus Oriental Circus Indonesia (OCI). Menurutnya, ini bukan hanya masalah administratif semata, tetapi juga soal komitmen negara dalam menegakkan keadilan bagi para korban.

Kasus ini bermula dari laporan dugaan kekerasan dan eksploitasi yang disampaikan korban ke polisi pada tahun 1997. Namun, SP3 diterbitkan dua tahun kemudian, menurut informasi dari Komnas HAM. Gilang menekankan pentingnya pengungkapan tuntas dugaan pelanggaran HAM berat ini.

Desakan Pembukaan Kembali Kasus Sirkus OCI

Gilang mengajukan usul agar SP3 kasus sirkus OCI dicabut. Ia berpendapat bahwa pembukaan kembali kasus ini menandakan pengakuan bahwa proses hukum sebelumnya belum tuntas. Langkah ini menjadi momentum penting untuk memastikan keadilan bagi para korban.

Ia juga mendorong pembentukan Tim Pencari Fakta (TPF) untuk menyelesaikan kasus ini. TPF dinilai dapat mengungkap kegagalan negara dalam memberikan keadilan di masa lalu. Selain itu, TPF juga dapat menyelidiki dugaan pelanggaran HAM berat yang dialami mantan pemain sirkus OCI.

Rekomendasi TPF dari Amnesty International Indonesia dianggap relevan dan perlu dipertimbangkan. TPF dapat membantu pengusutan kasus hingga tuntas dan memberikan solusi komprehensif.

Perjuangan Mantan Pemain Sirkus OCI untuk Keadilan

Mantan pemain sirkus OCI telah mendatangi Bareskrim Polri pada 6 Mei 2025. Mereka secara resmi meminta Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk membuka kembali kasus yang dihentikan pada tahun 1999. Kasus ini sebelumnya dilaporkan oleh Vivi Nurhidayah pada 6 Juni 1997, dengan nomor laporan polisi LP/60/V/1997/Satgas.

Kuasa hukum korban, M. Soleh, menjelaskan bahwa dugaan pelanggaran Pasal 277 KUHP tentang penghilangan identitas sangat jelas. Tidak hanya Vivi, puluhan korban lainnya juga tidak mengetahui identitas orang tua kandung mereka.

Pihak korban menolak membuat laporan baru karena terbentur masalah masa kedaluwarsa. Mereka lebih memilih agar Bareskrim mencabut SP3 dan melanjutkan proses hukum.

Jika kepolisian tidak merespon, kuasa hukum mengancam akan mengajukan praperadilan. Mereka menilai ada indikasi pelanggaran prosedur dalam penghentian perkara sebelumnya.

Soleh juga menyoroti dugaan kekerasan yang dialami korban sejak kecil hingga dewasa. Sekitar 60 anak balita diduga dipisahkan dari orang tua mereka dan tidak pernah diakui oleh pihak sirkus maupun Taman Safari.

Kuasa hukum lain, Happy Sebayang, menambahkan bahwa para korban tidak pernah mendapat pemberitahuan resmi tentang perkembangan kasus, termasuk penerbitan SP3. Informasi penghentian penyidikan justru mereka peroleh dari Komnas HAM.

Mereka berharap polisi bersikap transparan dan adil. Kehadiran mereka ke Bareskrim bertujuan untuk memastikan kasus ini tidak diabaikan dan menuntut kejelasan hukum serta tanggung jawab moral dari pihak terkait.

Tanggapan Mantan Kuasa Hukum Pendiri OCI

Hamdan Zoelva, mantan kuasa hukum pendiri OCI, turut memberikan keterangannya. Ia terlibat dalam investigasi bersama Komnas HAM terkait laporan Fifi Nur Hidayah pada tahun 1997.

Laporan Fifi mencakup isu asal-usul keluarga, dugaan penyiksaan, dan hak atas pendidikan yang tidak terpenuhi. Komnas HAM membentuk tim investigasi untuk memverifikasi informasi tersebut.

Hamdan menjelaskan kronologi laporan Fifi, seorang mantan pemain sirkus OCI yang melarikan diri dan kemudian melaporkan kasus ini ke Komnas HAM. Ia turut berpartisipasi dalam investigasi yang dilakukan oleh Komnas HAM saat itu.

Kasus sirkus OCI ini menyoroti pentingnya perlindungan anak dalam industri hiburan dan perlunya audit regulasi yang menyeluruh untuk mencegah kejadian serupa terulang. Negara harus hadir untuk memastikan perlindungan dan keadilan bagi seluruh warganya.

Perjuangan para mantan pemain sirkus OCI untuk mendapatkan keadilan merupakan cerminan pentingnya pengawasan dan penegakan hukum yang efektif. Semoga kasus ini dapat diselesaikan secara tuntas dan memberikan kepastian hukum bagi para korban.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *