1 Suro: Rahasia Kuliner Nusantara Sarat Makna Filosofis

1 Suro: Rahasia Kuliner Nusantara Sarat Makna Filosofis
Sumber: Liputan6.com

Malam 1 Suro, yang juga dikenal sebagai Tahun Baru Islam, merupakan momen sakral bagi umat Muslim di Indonesia. Perayaan ini dirayakan dengan berbagai tradisi dan ritual unik di setiap daerah. Selain ritual keagamaan, Malam 1 Suro juga identik dengan sajian kuliner khas yang sarat makna filosofis. Mari kita telusuri beberapa di antaranya.

Sajian Kuliner Malam 1 Suro: Bubur Suro dan Maknanya

Bubur Suro merupakan hidangan utama yang tak pernah absen dalam perayaan Malam 1 Suro. Bubur gurih ini terbuat dari beras, santan, garam, jahe, dan serai.

Rasa rempahnya yang kaya menambah cita rasa khas. Bubur Suro biasanya disajikan dengan berbagai lauk pendamping seperti opor ayam, sambal goreng labu siam, orek tempe, kacang goreng, dan telur dadar.

Penyajiannya pun istimewa, seringkali menggunakan daun pisang sebagai alas. Sebelum disantap, biasanya bubur ini didoakan bersama keluarga.

Nasi Tumpeng dan Ayam Ingkung: Simbol Keutuhan dan Syukur

Nasi tumpeng, dengan bentuk kerucutnya yang khas, melambangkan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Di beberapa daerah, seperti Semarang, Jawa Tengah, nasi tumpeng disantap bersama dalam tradisi “Kembul Bujana”.

Di Banyuwangi, Jawa Timur, terdapat tradisi “Gerebeg Tumpeng Agung” yang digelar setiap tiga tahun sekali pada bulan Suro. Tumpeng Agung terdiri dari lima jenis tumpeng yang beragam, kemudian diarak keliling kampung.

Ayam ingkung, biasanya hanya disajikan di acara istimewa seperti Malam 1 Suro. Ayam ingkung seringkali menjadi sajian utama bersama nasi tumpeng.

Keutuhan ayam ingkung melambangkan keutuhan masyarakat yang rukun meskipun berbeda. Setelah didoakan bersama, ayam ingkung dibagi dan dinikmati bersama-sama.

Apem, Bubur Merah Putih, dan Jenang 7 Rupa: Kue dengan Makna Spiritual

Apem, kue tradisional Jawa yang terbuat dari tepung beras, santan, dan gula jawa, memiliki makna spiritual yang dalam.

Kue apem melambangkan kesucian dan keberkahan. Gula merahnya melambangkan keberanian dan pengorbanan, sementara warna putihnya melambangkan kesucian.

Di Gorontalo, terdapat kue apangi atau apem yang serupa, namun disajikan pada tanggal 10 Muharram. Bubur merah putih juga sering disajikan.

Dua warna bubur ini, merah dan putih, disajikan dalam satu piring, melambangkan keseimbangan dan kesatuan. Bubur ini biasanya dibawa ke masjid untuk didoakan bersama.

Jenang 7 rupa, atau bubur tujuh warna, merupakan tradisi Jawa lainnya. Bubur ini dibawa ke mushola atau masjid untuk didoakan bersama dan dibagikan kepada jemaah.

Tradisi serupa juga ditemukan di Sulawesi Selatan dengan sebutan bella pitunrupa, menggunakan tujuh jenis bahan pangan hasil bumi.

Gunungan: Simbol Kelimpahan dan Harapan

Gunungan merupakan tradisi unik masyarakat Jawa Tengah. Hasil bumi seperti kue apem, sayuran, dan buah-buahan ditata menyerupai gunung besar.

Setelah didoakan bersama, gunungan diarak dan diperebutkan warga sebagai simbol rasa syukur dan harapan akan tahun yang lebih baik. Tradisi ini memperlihatkan rasa syukur atas hasil bumi yang melimpah.

Malam 1 Suro bukan sekadar pergantian tahun baru dalam kalender Hijriah, melainkan momen penuh makna yang dirayakan dengan berbagai tradisi, termasuk sajian kuliner khas yang kaya simbolisme. Beragamnya hidangan tersebut menunjukkan kekayaan budaya Indonesia dan keragaman tradisi di dalamnya. Melalui makanan-makanan tersebut, masyarakat Indonesia mengekspresikan rasa syukur dan harapan untuk tahun yang akan datang.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *