Popularitas mobil listrik di Indonesia tengah meroket. Penjualan terus meningkat, namun hal ini menimbulkan kekhawatiran dari Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo).
Kekhawatiran tersebut berpusat pada insentif pemerintah yang diberikan kepada mobil listrik impor. Kebijakan ini, meskipun mendorong penjualan, justru menimbulkan potensi kerugian bagi industri otomotif dalam negeri.
Insentif Mobil Listrik Impor: Sebuah Dilema
Pemerintah memberikan keringanan pajak bagi mobil listrik impor utuh (CBU – Completely Built Up). Hal ini membuat harga mobil listrik impor menjadi lebih kompetitif.
Namun, kebijakan ini justru menghambat pertumbuhan industri otomotif dalam negeri. Sebab, impor CBU tidak memberikan kontribusi pada peningkatan lapangan kerja dan perekonomian lokal.
Ancaman bagi Industri Otomotif Lokal
Kukuh (nama lengkap tidak disebutkan dalam sumber), dari Gaikindo, mengungkapkan keprihatinan mengenai dominasi mobil listrik impor CBU.
Saat ini, mobil listrik menyumbang hampir 10% dari total penjualan mobil di Indonesia. Jika sebagian besar berasal dari impor CBU, dampak negatifnya akan sangat signifikan.
Impor CBU berarti devisa negara mengalir ke luar negeri untuk membayar tenaga kerja asing. Ini bertolak belakang dengan tujuan membangun industri otomotif dalam negeri yang mampu menyerap jutaan tenaga kerja.
Industri otomotif nasional merupakan salah satu penggerak utama perekonomian Indonesia. Lebih dari 1,5 juta orang menggantungkan hidup dari sektor ini.
Pentingnya Produksi Dalam Negeri
Gaikindo mendorong produsen mobil listrik untuk segera membangun pabrik dan memproduksi mobil listrik di Indonesia.
Langkah ini penting untuk menyelamatkan industri otomotif dalam negeri yang tengah menghadapi tantangan daya beli masyarakat yang lemah.
Mobil listrik CBU saat ini dibebaskan dari bea masuk dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). Ini membuat harganya lebih murah dibandingkan mobil listrik produksi dalam negeri.
Namun, insentif tersebut memiliki syarat: produsen wajib membuka bank garansi dan berkomitmen untuk produksi dalam negeri dengan rasio 1:1 dan spesifikasi minimal sama. Kebijakan ini akan berakhir pada akhir tahun 2025.
Ke depan, perlu ada strategi yang lebih terukur untuk mendorong perkembangan industri mobil listrik di Indonesia. Pemerintah perlu mempertimbangkan kembali skema insentif yang lebih berpihak pada pengembangan industri dalam negeri, tanpa mengorbankan daya saing harga mobil listrik bagi konsumen. Hal ini penting untuk menciptakan ekosistem industri yang berkelanjutan dan menyejahterakan masyarakat Indonesia.